Thursday, August 03, 2006

Imagologi: Jalan (Kembali) Menuju Imajerialitas Seni

H. Tedjoworo


Imagologi bukanlah konsep. Ia adalah jalan hidup, cara mengada, logos bagi imaji, dan imaji bagi logos. Ia adalah cara, gaya, dan paradigma hidup. Pada mulanya, hidup adalah imaji, dan bukan konsep. Seorang bayi belajar dan mengenal dunia lewat imaji-imaji. Imaji adalah semua yang bersentuhan dengan dan ditangkap oleh indera, baik melalui indera badan maupun hati, yang lalu terekam di dalam diri manusia. Dunia ini, pun jatidiri manusia, termasuk dalam imagologi. Taylor dan Saarinen menyebutnya dalam bentuk jamak, imagologies. Sebab, ia memang banyak; tak bisa cuma satu. Mereka mengatakan bahwa imagologies adalah filsafat media.[1] Memang imaji akan selalu membutuhkan media, selama manusia hanya bisa menangkap sebuah eksistensi dengan indera. Dan sesungguhnya, seni manakah yang tak bermedium? Bahkan seni itu sendiri adalah medium bagi imaji, sebab tidak setiap imaji mampu dicerap oleh manusia. Hanya imaji yang bermedium, akan sampai pada manusia. Yang tidak, akan terus terselubung, menunggu waktunya untuk disingkapkan. Sayang sekali, seni sudah makin konseptual kini. Media imaji-imaji itu, telah dinilai dan dihargai berdasarkan bobotnya, kandungannya, ‘berat’-nya. Alih-alih menyingkapkan imaji, media tergoda untuk menghamba pada konsep-konsep, kritik sosial, dan pesan moral. Seni, atau media, menjadi semakin berat. Terlalu banyak logos ketimbang imaji. Jelas ia bukan lagi konsumsi para nonakademisi, apalagi kaum jelata. Jika benar demikian, mungkin setiap logos (=kata, konsep) dalam seni perlu dikembalikan kepada logo (=figur, simbol).

“Suka Gambarnya…”

Seringkali, ketika ditanya mengapa membaca koran atau majalah tertentu, orang menjawab, “Suka gambarnya…” Dangkalkah? Mungkin tidak. Soalnya ialah, ada yang jujur dan ada yang tidak. Ada yang rela mengakui pola ‘imajerial’ (=mengalami dan memahami melalui imaji-imaji) dalam dirinya, dan ada yang tidak. Beberapa yang tidak, menganggap bahwa imajerialitas adalah sebuah sifat kekanak-kanakan belaka. Kedewasaan, karenanya, nampak dalam pola yang lebih konseptual, yang lebih clara et distincta melalui kata-kata. Ini seperti membandingkan (dengan tidak adil) aliran realis dan aliran ekspresionis, atau sebuah buku pedoman estetika dan sebuah komik Azura, atau film Hero dan film The Matrix: Revolution.

Tetapi sekarang, kembali ke komentar di atas, tidakkah kata ‘suka’ itu sebenarnya adalah alasan utama kehadiran seni? Ataukah seni hanya sebatas proses reproduksi, entah menyukakan hati seseorang atau tidak? Memang tak dapat diterima jika seni hanya mengurusi perasaan suka. Akan tetapi, seni juga bukan milik setiap perasaan demi perasaan itu saja. Sekali lagi, seni adalah media bagi imaji mewahyukan dirinya. Dan imaji itu bisa menyukakan atau mendukakan siapa saja. Yang saya mau katakan ialah, bahwa kata ‘suka’ adalah perwakilan otentik jiwa imajerial setiap manusia. Kata ini takkan diucapkan orang karena membaca sebuah kalimat petunjuk pemakaian obat, misalnya. ‘Suka’ adalah sesuatu yang lahir karena seni dan apapun yang imajerial. Hanya karena sebuah konsep yang terindoktrinasi secara sadar maupun tidak sadarlah maka ungkapan ‘suka’ terhadap gambar tiba-tiba diadili sebagai ekspresi yang infantil.

Jadi, batu sandungan pertama imagologi adalah mentalitas. Mentalitas kita masihlah mentalitas penilai. Masyarakat kita adalah masyarakat penilai. Masyarakat yang berpikir keras setiap saat, ketika melihat dan berbuat. Mentalitas komunitas macam ini tengkuknya keras dan keningnya berkerut, kacamatanya tebal dan siap menghantamkan palu perkara. Wajar saja jika karya-karya seni kita semakin berat setiap hari. Mentalitas itulah yang menyebabkannya. Jika seorang kritikus seni bertutur bahwa sebuah film sungguh-sungguh bagus dan berbobot, ia tidak bicara tentang ‘bagus dan berbobot’ yang keluar dari mulut nelayan di pantura Jawa, misalnya. Ia pun tidak bicara tentang imaji yang mewahyu di dalam film itu. Sebaliknya, ia bicara berdasarkan logos mengenai apa itu ‘bagus dan berbobot’. Saya hanya mau menunjukkan bahwa mentalitas logos-sentris kita telanjur menyunat imajerialitas publik dalam nama konseptualitas dan keberbobotan.

Apa yang harus dilakukan? Mentalitas jelas bukan kodrat. Ia bisa dikoreksi dan diluruskan kembali. Bahwa prosesnya lama, itu pasti. Tetapi ini pekerjaan rumah para kritikus seni, baik yang di perguruan tinggi maupun yang berdiri sendiri. Konkretnya, pekerjaan rumah ini berupa keberanian untuk mengakui kekuatan imaji yang diantarai oleh sebuah karya seni. Jika ada yang harus dikritik, semoga itu pertama-tama adalah mentalitas pengalamnya, lebih daripada muatan karyanya. Memang berat untuk tidak menunjukkan kompetensi diri melalui sebuah penilaian. Namun, tidakkah memang lebih dibutuhkan seorang apresiator ketimbang seorang korektor?

‘Tenggelam’ di Permukaan

Salah satu konsekuensi mentalitas penilai ialah hilangnya penghargaan atas apa yang ada di permukaan. Kedalaman sudah menjadi obsesi seorang seniman. Mencapai sebuah kedalaman dianggap sebagai puncak spiritualitasnya, atau ujung perjalanan hidupnya. Padahal permukaan adalah satu-satunya tempat bersentuhan dua realitas. Mata melihat, telinga mendengar, hidung mencium, kulit menyentuh, dan lidah mencecap di permukaan. Kedalaman adalah sebuah kejadian sekunder di saat otak campur tangan. Interpretasi juga, adalah langkah sekunder pada kedalaman tertentu—sesuatu yang terjadi barangkali karena kegagalan untuk tenggelam di permukaan. Celakanya, permukaan dianggap sebagai kedangkalan. Dan tidak ada yang mau dikatakan ‘dangkal’.

In media,… surface energy is everything.”[2] Jika benar seni adalah media, permukaan adalah lapisan yang terpenting baginya. Permukaan kanvas atau kertas, permukaan layar lebar, permukaan pita atau laser disc, permukaan udara dan angin, kayu dan keramik—semuanya itu adalah sisi yang paling fundamental bagi seni, sebab takkan ada seni tanpa permukaan! Jadi, sebelum media massa mengendalikan secara massal kehidupan manusia di seluruh dunia, seni sebagai media sudah ada di sana. Media massa adalah sebuah ‘politisasi’ seni atas nama proses komunikasi, katakanlah. Bagi media massa, apapun bisa dikomunikasikan—baik atau buruk, halus atau kasar, pantas atau tidak pantas. Bagi media seni, hanya imaji yang dikomunikasikan, sebab bukan seni(man) sendiri, melainkan imajilah yang mengkomunikasikan dirinya. Dengan kata lain, seniman digerakkan oleh imaji-imaji yang belum pernah terungkap agar menghadirkannya di sebuah permukaan, di ambang persentuhan dua realitas.

‘Tenggelam di permukaan’ adalah sebuah ajakan untuk memandang serius suatu permukaan. Permukaan adalah sisi realitas, dan sama sekali tidak identik dengan kedangkalan. Permukaan memang punya ‘kedalaman’ tersendiri, tetapi bagaimanapun yang terakhir ini bukanlah tujuan keberadaannya. Ia tidak bisa dikatakan lebih baik atau lebih buruk karena kedangkalan atau kedalamannya. Permukaan tidak dinilai! Permukaan, bagi seni, adalah sebuah locus, ‘tempat’ untuk berada. Bagi pengalam seni, permukaan layaknya thesaurus untuk mengalami seni sebagai media imaji. Tidak ada cara lain untuk mengalami seni tanpa ‘tenggelam’ di permukaan. Bukankah setiap karya seni juga seperti pusaran air? Ia menyedot dan menenggelamkan setiap pengalam yang otentik, dan bukan justru melontarkannya ke alam diskursif.

Maka, sekurang-kurangnya ada dua konsekuensi epistemologis ketenggelaman di permukaan ini. Pertama, impresi-impresi lebih berperan penting dalam proses apresiasi karya seni ketimbang hasil-hasil rasionalisasi dan abstraksi. Spekulasi mungkin dianggap hebat di dunia kiwari, tapi ia tetap aktivitas sekunder yang tidak boleh menggagahi impresi. Setiap impresi (kesan) sebenarnya adalah hasil pekerjaan sebuah permukaan seni atas diri apresiator (pengaku). Di situ, imaji bergerak aktif mendahului imajinasi. Kedua, tugas seorang seniman ialah menghadirkan imaji-imaji melalui karya-karyanya, dan bukan pertama-tama menjadi duta konsep atau pesan-pesan moral. Inilah yang dimaksud dengan imajerialitas karya seni. Meski begitu, tak dapat dipungkiri bahwa sebuah karya seni dapat membawa perubahan moral atau menyampaikan sebuah kritik sosial pada level tertentu. Imajerialitas itu dikhianati manakala pesan atau konsep-konsep lain menjadi motivasi utama untuk melahirkan sebuah karya seni.

Gerakan untuk masuk ke kedalaman permukaan ini adalah juga menandai proses rekonsiliasi dengan materialitas dan kekonkretan. Karena sebuah permukaan itu selalu berwujud materi yang sensibel, dunia pelihat dan pengalam seni diajak untuk berdamai (kembali) dengan permukaan “apa adanya”. Saya yakin bahwa semangat “apa adanya” atas permukaan sudah terlalu banyak digerus oleh banjir interpretasi maupun spekulasi. Maka lihatlah, betapa sulitnya mempertahankan atau menghargai impresi-impresi primer yang memang sifatnya materialistis. Mungkin pelajaran religiusitas selama ini ikut bertanggung jawab atas perendahan materialitas macam ini. Materi telanjur dianggap kasar, vulgar, dan ‘dosa’. Sementara itu, yang spiritual dan serba sublim dianggap lebih halus, sopan, dan ‘asketik’. Tidakkah spekulasi kita sendiri yang menjadikan iklim apresiasi seni kini tidak “apa adanya” lagi? Jika benar hermeneutika seni tak dapat menghargai materialitas (permukaan) lagi, maka yang tersisa hanyalah fenomena politisasi seni yang makin semena-mena! Kita mengira bahwa yang dapat mengubah manusia hanyalah kata-kata dan konsep yang menyentuh hati. Padahal ketika konsep yang halus dan sistematis sedang dicoba untuk dipahami, imaji-imaji yang begitu dekat dengan kekonkretan sudah lebih dulu mengubah dunia dan mengubah kita. Benarlah yang dikatakan oleh Taylor dan Saarinen, “Images change the world and change us in ways that are beyond literal and linear styles of conceptualizing…[3]

Politisasi seni terjadi persis ketika kita tidak terbiasa lagi menjejakkan kaki di lumpur materialitas.

Jadi, setiap kategori seni berdasarkan ‘kedalaman’ harus disketsa ulang. “Surface is no longer superficial; nor is it profound. In simcult, the very opposition between depth and surface must be refigured.[4]Apa yang dikatakan ‘dalam’ sebenarnya terletak di permukaan. Semakin mampu orang tenggelam di permukaan, semakin mampu ia mengalami imaji yang sedang mewahyukan diri. Superfisialitas adalah kedalaman itu sendiri. Kita masuk ke dalam realitas imajerial sebuah karya seni bukan ketika mampu memberikan resensi yang canggih atasnya, melainkan ketika mampu menangkap dan mengalami imaji-imaji yang mengejawantah di permukaannya.

Imagologi, Imagosentrisme

Mau ke manakah seni(man)? Beberapa sempat bilang, bahwa seni berhembus ke manapun ia inginkan. Tentu saja. Seniman mungkin hanya mengikuti, gerak sang seni, gerakan hati, gerakan pensil serta kuas, gerakan atmosfer membawa nada dan menyorongkan kata. Itukah seni? Atau jangan-jangan, itu hanya sebuah logos-sentrisme? Padahal logos itu bukan imaji. Logos adalah pikiran kita sendiri, pikiran masyarakat, pikiran pemerintah, pikiran pemasang iklan. Sedangkan imaji, adalah peristiwa, yang terjadi pada titik, saat, tempat tertentu. Di titik, saat, dan tempat tertentu itu, imaji ‘dipotret’ berikut napas dan keringatnya, direkam di dasar lubuk diri kita, bukan sebagai konsep atau kalimat tetapi tetap sebagai imaji. Ke manapun, melakukan apapun, membaca atau melihat apapun yang lain, tidak akan menghapus imaji yang telah terekam itu. Kita akan diikuti terus, dihantui, ditampaki dalam mimpi, sampai akhirnya kita menuangkannya ke dalam sebuah karya seni. Baru ketika itulah kita akan beristirahat dalam damai, sebab sang imaji kini sudah menjadi karya seni. Bayangkan jika karya itu kemudian ramai-ramai dianalisis dan dibedah, maka hancurlah imaji itu, seperti habis dicabik-cabik, berkeping-keping, tak berbentuk lagi.

Imagologi memberitakan lahirnya (kembali) imagosentrisme, perhatian serta keterpusatan pada yang imajerial. Dulu imagosentrisme pernah dicurigai, dikejar-kejar, dan direpresi; ia dianggap lancang, bahkan diadili sebagai sakrilegi. Lalu muncullah berbagai macam ‘pemberat’ seni itu: rasionalisasi, spekulasi, dan abstraksi. Pada waktu itu seni hanya ada di meja makan kaum bourgeois. Kini, ketika rasio dan konsep pun boleh diobrak-abrik, orang mulai ragu-ragu sekaligus tak mampu membendung sukacita karena imaji kembali diakui dan dihargai. Namun belum semua. Masih banyak yang ragu-ragu, atau malu-malu, untuk mengiyakan dan mengakui realitas yang nyatanya berkali-kali menampakkan diri dalam imajerialitas. Imajerialitas terletak pada karya-karya seni; konseptualitas pada para kritikusnya. Lalu mengapa seni harus mengabdi kepada yang terakhir? “Imagocentrism is eccentric,” kata Taylor dan Saarinen.[5] Ia eksentrik (eks-sentrik), karena keluar dari sentrumnya. Pusatnya bukan pada sebuah sentrum geometris. Axisnya, dalam bahasa saya, ‘melenceng’, keluar dari pakemnya. Seni pun selalu eksentrik. Bukan berarti ia tak punya pakem, tapi ia keluar dari pakem. Ia, katakanlah, senantiasa bergerak ke ‘wilayah tak bertuan’, wilayah heuristik—“wilayah-segalanya-bisa-terjadi”.

Kendati begitu, perhatikanlah beberapa fenomena berbahaya akhir-akhir ini. Pertama, politisasi imaji yang, kalau tak hati-hati, akan mengundang emosi jutaan orang. ‘Image game’—jika boleh diakarkan pada ‘language game’-nya Gadamer—berarti ‘permainan imaji’, tetapi sama sekali bukan mempermainkan imaji. Sayang sekali, makna ‘permainan’ di kultur kita sudah dirusak dan dipeyorasi sebagai sesuatu yang infantil. Kedua, mekanisasi dan produksi massal imaji-imaji. Kebanyakan tayangan iklan di media massa kita juga hanya menunggu waktu bagi matinya imajinasi jutaan pemirsanya. Betapa tidak? Pengulangan demi pengulangan, intervensi dan interupsi yang sangat kasar itu, jelas perlahan-lahan akan membunuh indera siapapun yang melihatnya. Kita sedang dibuat mati rasa di hadapan imaji-imaji yang membanjiri mata dan telinga kita. Ketiga, reduksi proses pembelajaran kita menjadi semakin tekstual ketimbang imajerial. Saya ragu bahwa sebagian besar generasi muda kita masih mampu mengembangkan daya imajinatif mereka karena kreativitas imajerial para pengajarnya. Kurikulum dan beban studi yang begitu padat mau dijejalkan di kepala mereka dengan cara-cara yang sangat tekstual dan semata-mata harus dihapal! Keempat, interpretasi yang ngawur atas ekspresi-ekspresi seni dan budaya. Isu pornografi atas sebuah karya seni dan pornoaksi atas sebuah penampilan menyanyi hanyalah dua dari sekian banyak bukti keserampangan interpretasi. Apakah sebuah lukisan orang telanjang, ataukah seseorang yang berpikiran kotor tentang sosok yang dilukis itu, yang mesti dipersalahkan berdasarkan sebuah aturan?

Tidakkah keempat fenomena itu mempengaruhi dan dipengaruhi juga oleh kegagalan masyarakat kita menghargai kekuatan imaji di segala segi? Tidakkah para seniman, karya-karyanya, dan para kritikus seni pun bertanggung jawab atas kegagalan itu dan atas makin diabaikannya imajerialitas? Sekurang-kurangnya imagologi adalah jalan untuk kembali kepada imajerialitas seni, dan yang pada gilirannya akan ‘mendidik’ masyarakat kita ke arah interpretasi dan perlakuan yang lebih objektif atas realitas. Beberapa tools yang mengemuka di atas, seperti mentalitas apresiatif, ketenggelaman di permukaan, dan eksentrisitas, dapat segera dipakai untuk mengevaluasi dan kalau perlu mengoreksi langkah dan cara kita memediasi imaji lewat seni.

Imagologi: Emansipasi Imaji

Hermeneutika estetik, ketika dipergunakan dengan arogan, akan mudah jatuh ke dalam represi imaji, dan lebih dalam lagi, penindasan realitas. Bagaimana jika imaji, juga yang dimediasi oleh karya-karya seni, itu opak seperti dalam simbolisme Paul Ricoeur? Jika memang demikian, setiap gerakan hermeneutik estetik yang berlebihan sebenarnya adalah gerakan yang menjauhi materialitas permukaan sebuah karya seni dan, akhirnya, menjauhi realitas. Penyebabnya sangat bisa jadi adalah pemahaman seakan-akan tiap imaji itu harus merefer pada sesuatu di luar dirinya sendiri. Inilah yang membuat seolah-olah kita harus selalu ‘berpikir’ di hadapan dan ketika mau menghasilkan sebuah karya seni. Melangkah ke dalam mentalitas imajerial berarti melepaskan obsesi-obsesi macam ini.[6]

Menjadi imajerial, bagi kita, akan berarti menjadi realistis tanpa harus kehilangan sikap kritis. Menjadi imajerial, atau berani masuk ke jalan imagologi, berarti pula menghargai realitas, menghargai imaji. Dengan menghargai emansipasi imaji seperti ini, kita akan diajar supaya tak perlu menjadi nihilis yang ingin meniadakan kenampakan segala sesuatu, termasuk seni.

Daftar Pustaka

Berleant, Arnold. Re-thinking Aesthetics: Rogue Essays on Aesthetics and the Arts. Hampshire: Ashgate. 2004.

López, José dan Potter, Garry. After Postmodernism: An Introduction to Critical Realism. London dan New York: Athlone. 2001.

Scheffler, Israel. Symbolic Worlds: Art, Science, Language, Ritual. Cambridge: Cambridge University. 1997.

Taylor, Mark dan Saarinen, Esa. Imagologies: Media Philosophy. London dan New York: Routledge. 1994.

Tedjoworo, Hadrianus. Imaji dan Imajinasi: Suatu Telaah Filsafat Postmodern. Yogyakarta: Kanisius. 2001.




[1] Mark Taylor dan Esa Saarinen, Imagologies: Media Philosophy, London dan New York: Routledge, 1994, hlm. Media Philosophy3.

[2] Taylor dan Saarinen, Imagologies: Media Philosophy, hlm. Media Philosophy9.

[3] Taylor dan Saarinen, Imagologies: Media Philosophy, hlm. Pedagogies4.

[4] Taylor dan Saarinen, Imagologies: Media Philosophy, hlm. Superficiality7.

[5] Taylor dan Saarinen, Imagologies: Media Philosophy, hlm. Gaping4.

[6]Indeed, the general assumption that an image ‘necessarily refers to something outside itself’ has to be given up,” tutur Scheffler ketika bicara tentang E. H. Gombrich; Israel Scheffler, Symbolic Worlds: Art, Science, Language, Ritual, Cambridge: Cambridge University, 1997, hlm. 99.